Setelah lebih dari 7 tahun bersemayam dalam batang tubuh Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 2012 (PMA 2/2012), akhirnya Petunjuk teknis Kelompok Kerja Pengawas (Juknis Pokjawas) Madrasah lahir dengan selamat pada tanggal 19 Oktober 2020 dari rahim Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama yang dibidani oleh Muhammad Ali Ramdhani.
Kelahiran juknis yang beregister Kepdirjenpendis No 5851 Tahun 2020 tersebut diharapkan dapat memberikan arah yang lebih jelas bagi perjalanan organisasi pengawas satuan pendidikan khas kementerian agama, terutama menyangkut (1) konsep, (2) pembentukan, (3) penyelenggaran, (4) pembinaan, (5) kemitraan dan pengembangan pokjawas madrasah.
Meski sebelumnya telah disinggung dalam pasal 16-18 PMA 2/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMA 31/2013, eksistensi pokjawas selama 7 tahun yang lalu baru sebatas tubuh tanpa konsep yang jelas. Sehingga tidak jarang bertindak hanya atas dasar latah behavior (Prilaku Latah). Paling hanya ikut-ikutan konsep yang ada dalam aturan Koordinator Pengawas (Korwas) milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi.
Dari sisi nomenklatur saja, keduanya berbeda, pokjawas dan korwas. Memang banyak yang beranggapan itu hanya sekedar beda penyebutan, namun ada pula yang menyangka bahwa pokja itu hanya untuk level RA/MI mengingat adanya istilah Kelompok Kerja Kepala Sekolah dan Kelompok Kerja Guru (K3S/KKG) sebagai pembeda dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah dan Musyawarah Kerja Guru Mata pelajaran atau Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MKKS/ MGMP/ MGBK) untuk SMP/SMA/SMK.
Hal yang kemudian cukup mengejutkan, ternyata dalam kepdirjen pendis 5851/2020, korwas itu disebut sebagai organisasi yang ada dibawah pembinaan Pokjawas. (nah…lho….)
Selain pokjawas, pengawas madrasah itu sendiri sebenarnya selama ini merupakan kelompok minoritas yang memang sering terlupakan. jangankan oleh kanwil kementerian agama propinsi maupun Kemenag kabupaten kota, ketua Balai Diklat Keagamaan Padang pun mengakui bahwa sejak BDK bediri tahun 1982, baru pada tahun 2017 BDK Padang menyelenggarakan Diklat Fungsional Pengawas dalam Jabatan, (bukan diklat Calon Pengawas) dan hanya sekali itu. Sampai desember 2020, alhamdulillah juga tidak ditemukan butir kegiatan diklat fungsional untuk pengawas dalam jabatan.
Melihat berbagai regulasi tentang kepengawasan, banyak pihak pemangku kepentingan yang berharap “lebih” kepada para pengawas sebagai salah satu pilar penjamin mutu eksternal yang terintegrasi ke dalam penyelenggaraan satuan pendidikan. Sayangnya, berbagai harap itu belum dibarengi dengan langkah kongkrit pada aksi lapangan.
Sebut saja umpamanya soal perubahan kurikulum menjadi kurtilas pada tahun 2013 silam. Pihak pengawas otomatis menjadi penonton bisu di tengah hingar-bingarnya sorakan dan teriakan para guru yang hilir mudik mengikuti diklat, seminar, lokakarya, penataran, workshop dan lain sebaginya.
Tak satu pun dari kegiatan peningkatan wawasan dan kompetensi itu yang menyentuh pengawas madrasah. Akibatnya, pengawas semakin terpojok, hingga banyak yang kerepotan ketika melakukan supervisi ke madrasah. Jadinya terbalik, guru yang mensupervisi pengawas.
Hal ini juga menjadi ‘buah tangis’ ketua pokjawas Jakarta Selatan, sebagai dimuat dalam (yunandra.com) Menurutnya di era ini keberadaan pengawas madrasah atau pengawas PAI kurang mendapat perhatian dan penghargaan dari berbagai pihak. Entah karena “warisan sejarah” dimana pengawas dianggap tidak kompeten yang disebabkan oleh latar belakang bukan berasal dari guru atau kepala sekolah, atau karena tidak ada rencana sistematis pemberdayaan pengawas. Bahkan terkesan pengawas dibiarkan dan ditinggalkan dari perkembangan pendidikan. Sehingga informasi lebih sering langsung tersampaikan ke guru atau kepala madrasah tanpa sepengetahuan pengawas pembinanya.
Kondisi pengawas yang mengambang tersebut dapat menimbulkan tiga respon yaitu pembelaan diri, peluang dan tantangan. Pembelaan diri digunakan oleh para pengawas madrasah atau PAI ketika dituntut untuk membina madrasah atau guru PAI tapi tidak dibekali dengan baik.
Seperti kurikulum 2013. Dari awal pemberlakuan kurikulum 2013 belum ada pelatihan khusus untuk pengawas madrasah, kecuali pengawas PAI. Tapi pelatihan sekedarnya itu pun belum cukup kalau tujuannya mempersiapkan pengawas agar dapat membina madrasah.
Seharusnya model pelatihan yang cocok untuk pengawas adalah Training of Trainer karena pengawas memiliki tupoksi membina guru dan kepala madrasah. Akibatnya para pengawas berusaha belajar secara mandiri agar tidak ketinggalan dari guru atau kepala madrasah.
Peluang artinya kondisi pengawas yang ‘tidak dianggap’ digunakan oleh sebagian pengawas madrasah atau pengawas PAI untuk mengaktualisasikan diri dan mengembangkan potensinya di bidang-bidang lain, Sebagian mengembangkan diri di bidang pendidikan, sebagian lagi mengembangkan diri di luar pendidikan. Sedangkan tantangan artinya kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para pengawas untuk meningkatkan profesionalisme secara mandiri sehingga mampu membina madrasah dengan baik, dalam kondisi tidak ada kepedulian dan keberpihakan terhadap keberadaan pengawas madrasah atau pengawas PAI
Namun yang pasti, untuk maju memang harus mandiri. Biarlah para pemangku kepentingan berlepas tangan, karena memang pengawas selama ini belum punya sesuatu yang akan disuguhkan. So… pengawas harus mandiri!
Kelahiran juknis yang beregister Kepdirjenpendis No 5851 Tahun 2020 tersebut diharapkan dapat memberikan arah yang lebih jelas bagi perjalanan organisasi pengawas satuan pendidikan khas kementerian agama, terutama menyangkut (1) konsep, (2) pembentukan, (3) penyelenggaran, (4) pembinaan, (5) kemitraan dan pengembangan pokjawas madrasah.
Meski sebelumnya telah disinggung dalam pasal 16-18 PMA 2/2012 sebagaimana telah diubah dengan PMA 31/2013, eksistensi pokjawas selama 7 tahun yang lalu baru sebatas tubuh tanpa konsep yang jelas. Sehingga tidak jarang bertindak hanya atas dasar latah behavior (Prilaku Latah). Paling hanya ikut-ikutan konsep yang ada dalam aturan Koordinator Pengawas (Korwas) milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, atau dinas pendidikan kabupaten/kota dan provinsi.
Dari sisi nomenklatur saja, keduanya berbeda, pokjawas dan korwas. Memang banyak yang beranggapan itu hanya sekedar beda penyebutan, namun ada pula yang menyangka bahwa pokja itu hanya untuk level RA/MI mengingat adanya istilah Kelompok Kerja Kepala Sekolah dan Kelompok Kerja Guru (K3S/KKG) sebagai pembeda dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah dan Musyawarah Kerja Guru Mata pelajaran atau Musyawarah Guru Bimbingan Konseling (MKKS/ MGMP/ MGBK) untuk SMP/SMA/SMK.
Hal yang kemudian cukup mengejutkan, ternyata dalam kepdirjen pendis 5851/2020, korwas itu disebut sebagai organisasi yang ada dibawah pembinaan Pokjawas. (nah…lho….)
Selain pokjawas, pengawas madrasah itu sendiri sebenarnya selama ini merupakan kelompok minoritas yang memang sering terlupakan. jangankan oleh kanwil kementerian agama propinsi maupun Kemenag kabupaten kota, ketua Balai Diklat Keagamaan Padang pun mengakui bahwa sejak BDK bediri tahun 1982, baru pada tahun 2017 BDK Padang menyelenggarakan Diklat Fungsional Pengawas dalam Jabatan, (bukan diklat Calon Pengawas) dan hanya sekali itu. Sampai desember 2020, alhamdulillah juga tidak ditemukan butir kegiatan diklat fungsional untuk pengawas dalam jabatan.
Melihat berbagai regulasi tentang kepengawasan, banyak pihak pemangku kepentingan yang berharap “lebih” kepada para pengawas sebagai salah satu pilar penjamin mutu eksternal yang terintegrasi ke dalam penyelenggaraan satuan pendidikan. Sayangnya, berbagai harap itu belum dibarengi dengan langkah kongkrit pada aksi lapangan.
Sebut saja umpamanya soal perubahan kurikulum menjadi kurtilas pada tahun 2013 silam. Pihak pengawas otomatis menjadi penonton bisu di tengah hingar-bingarnya sorakan dan teriakan para guru yang hilir mudik mengikuti diklat, seminar, lokakarya, penataran, workshop dan lain sebaginya.
Tak satu pun dari kegiatan peningkatan wawasan dan kompetensi itu yang menyentuh pengawas madrasah. Akibatnya, pengawas semakin terpojok, hingga banyak yang kerepotan ketika melakukan supervisi ke madrasah. Jadinya terbalik, guru yang mensupervisi pengawas.
Hal ini juga menjadi ‘buah tangis’ ketua pokjawas Jakarta Selatan, sebagai dimuat dalam (yunandra.com) Menurutnya di era ini keberadaan pengawas madrasah atau pengawas PAI kurang mendapat perhatian dan penghargaan dari berbagai pihak. Entah karena “warisan sejarah” dimana pengawas dianggap tidak kompeten yang disebabkan oleh latar belakang bukan berasal dari guru atau kepala sekolah, atau karena tidak ada rencana sistematis pemberdayaan pengawas. Bahkan terkesan pengawas dibiarkan dan ditinggalkan dari perkembangan pendidikan. Sehingga informasi lebih sering langsung tersampaikan ke guru atau kepala madrasah tanpa sepengetahuan pengawas pembinanya.
Kondisi pengawas yang mengambang tersebut dapat menimbulkan tiga respon yaitu pembelaan diri, peluang dan tantangan. Pembelaan diri digunakan oleh para pengawas madrasah atau PAI ketika dituntut untuk membina madrasah atau guru PAI tapi tidak dibekali dengan baik.
Seperti kurikulum 2013. Dari awal pemberlakuan kurikulum 2013 belum ada pelatihan khusus untuk pengawas madrasah, kecuali pengawas PAI. Tapi pelatihan sekedarnya itu pun belum cukup kalau tujuannya mempersiapkan pengawas agar dapat membina madrasah.
Seharusnya model pelatihan yang cocok untuk pengawas adalah Training of Trainer karena pengawas memiliki tupoksi membina guru dan kepala madrasah. Akibatnya para pengawas berusaha belajar secara mandiri agar tidak ketinggalan dari guru atau kepala madrasah.
Peluang artinya kondisi pengawas yang ‘tidak dianggap’ digunakan oleh sebagian pengawas madrasah atau pengawas PAI untuk mengaktualisasikan diri dan mengembangkan potensinya di bidang-bidang lain, Sebagian mengembangkan diri di bidang pendidikan, sebagian lagi mengembangkan diri di luar pendidikan. Sedangkan tantangan artinya kondisi tersebut menjadi tantangan bagi para pengawas untuk meningkatkan profesionalisme secara mandiri sehingga mampu membina madrasah dengan baik, dalam kondisi tidak ada kepedulian dan keberpihakan terhadap keberadaan pengawas madrasah atau pengawas PAI
Namun yang pasti, untuk maju memang harus mandiri. Biarlah para pemangku kepentingan berlepas tangan, karena memang pengawas selama ini belum punya sesuatu yang akan disuguhkan. So… pengawas harus mandiri!
Komentar
Posting Komentar