Di salah satu blog saya yang lain, saya pernah memposting sebuah artikel tentang Kekuatan Kata-Kata, bagaimana ia mampu merubah rasa empaty, membangkitkan semangat, menopang kekuatan diri, juga sebaliknya mampu menjadi mesin penghancur mimpi.
Terkait dengan efek negatif Kekuatan Kata-Kata tersebut, kali ini sebuah artikel karya Rahmi Yulia, seorang Duta Bahasa Nasional sengaja saya pilihkan buat para reader untuk melihat betapa Kesantunan yang dulunya melekat sebagai jati diri bangsa Indonesia, kini tengah dilanda krisis yang hebat, ditandai dengan maraknya kekerasan verbal di area publik. OK, langsung aja di cekidot, check it out maksudnya :)
I. PENDAHULUAN
Bagaimana dengan realitas kondisi bangsa kita, bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia kini tengah mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya kekerasan verbal mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kenyataan menunjukkan krisis jati diri individu-individu manusia Indonesia yang berakibat luntur dan rusaknya jati diri bangsa Indonesia. Sebagaimana pesan sebuah kalimat bijak when character is lost, everything is lost.
Untuk itu, tulisan ini akan memaparkan bagaimana kekerasan verbal yang terjadi di Indonesia turut menandai krisis jati diri bangsa, bagaimana membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan peran pusat bahasa sebagai lembaga sensor bahasa dalam menyikapi maraknya kekerasan verbal sebagai solusi mengobati kiris jati diri bangsa akibat kekerasan verbal.
II. PEMBAHASAN
Kekerasan Verbal dan Jati Diri Bangsa
Kekerasan tidak hanya muncul melalui adegan-adegan sadis tetapi juga melalui kata-kata yang dikenal dengan sebutan kekerasan verbal. Kenyataan berbahasa Indonesia yang makin jelas terlihat dewasa ini adalah kekerasan verbal melalui penggunaan ungkapan sumpah serapah, kalimat dengan gaya bahasa kasar, dan sindiran. Ungkapan serapah makin banyak memasuki ruang-ruang publik, mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Para pengguna dengan santainya berekspresi menggunakan bahasa yang dianggap gaul, termasuk dalam berserapah tanpa kekhawatiran diawasi atau dianggap tidak santun. Berserapah, baik untuk tujuan memperkuat solidaritas pertemanan maya maupun tujuan melawan musuh maya, menjadi tidak tabu dalam komunikasi melalui komputer. Ada sebuah contoh yang dikutip dari pesan facebook 11 oktober 2011 lalu bertuliskan “semua laki2 itu bajingan. Mereka sendiri yg ngmng kyk gt ke gw, menurut lo gmn?”. Tulisan ini menunjukkan betapa kata-kata makian mudah dilontarkan tanpa hambatan. Kata “bajingan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan “penjahat, pencopet, kurang ajar”. Jika semua laki-laki membaca tulisan ini, dapat dibayangkan apa yang terjadi dan seperti apa respon yang akan diberikan kaum laki-laki.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa individu Indonesia berwatak kasar dan tidak tahu sopan santun. Di bawah tulisan ini pun ada yang berkomentar “laki-laki masuk dalam 2 kategori, kalau g bajingan ya homo #mengutipkataradiyadika”. Bukankah laki-laki adalah kaum pemimpin yang selayaknya dihargai bahkan dihormati, bukan untuk dimaki-maki secara serampangan. Bahkan tulisan tersebut disebutkan kutipan dari sebuah novel remaja. Fenomena ini semakin memperjelas terjadinya krisis jati diri bangsa. Masih banyak lagi kekerasan-kekerasan verbal lainnya yang dapat dilihat pada obrolan-obrolan internet dan telepon genggam. Ruang-ruang obrolan di internet pun menyebarluaskan serapahan baru yang dilancarkan remaja seperti cupu, anjrit, katro, jayus, lemot, jijay, jablay, gokil, dan lain sebagainya.
Acara realitas di televisi kerap mengumbar kekerasan verbal. Salah satu contoh acara televisi yang menunjukkan adanya indikasi tindak kekerasan verbal orang tua dan anak dalam tuturannya adalah acara Happy Family: Me VS Mom yang ditayangkan Trans TV. Selain itu,masih segar dalam ingatan kita bagaimana kekerasan verbal terumbar dalam acara realitas curhat bareng Anjasmara yang secara tepat dihentikan penyiarannya oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Acara-acara realitas seperti ini umumnya menampilkan bagaimana kekerasan verbal yang tidak jarang diikuti kekerasan fisik, seperti saling dorong dan tangisan untuk mengakhiri dan menangani persoalan. Tampak persoalan mudah terselesaikan dengan kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan air mata yang sebenarnya merupakan ekspresi ketidaksabaran, atau bahkan frustasi dan keputusasaan. Padahal, yang menyelesaikan persoalan bukan pengguna kekerasan verbal itu, melainkan keterpaksaan para tokoh yang terlibat dalam persoalan setelah sadar direkam oleh stasiun televisi dan khawatir dicemooh oleh penonton.
Alhasil, individu Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang santun, bersusila, saling menghormati dan menghargai layaknya budaya timur, tengah mengalami krisis. Kini berubah menjadi bangsa yang kasar dan terkenal songong. Nama-nama acara yang ditayangkan di televisi cenderung negatif sehingga menuntut hadirnya kekerasan verbal. seperti tidak mau kalah bersaing dengan ungkapan serapah dan kosakata negatif, ungkapan pornografis dan ungkapan mistis juga mudah dijumpai pada tayangan-tayangan televisi. Acara lawak, kuis, pamer cakap, dan realitas baik di televisi, surat kabar, majalah, novel, film, dan blog, seperti sudah memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hal-hal yang pornografis dan mistis.
Acara pamer cakap seperti empat mata dan bukan empat mata serta kuis-kuis tengah malam menebar ungkapan jahil yang mengarah pornografis. Acara realitas seperti percaya ga percaya, uka-uka, pemburu hantu, dunia lain, (masih) dunia lain, scary job, realigi dan mitos-mitos masyarakat yang memborbardir pemirsa dengan kata-kata kunci seperti alam gaib, penampakan, bayangan, angker, tua, kuntilanak, tuyul, santet, ilmu hitam, seram, paranormal, kerasukan, yang menawarkan keasyikan akan ditakut-takuti bagi pemirsa Indonesia. tokoh-tokoh cenayang pun bermunculan melontarkan ramalan tentang masa depan sehingga bertebaranlah ungkapan-ungkapan seperti kiamat, 2012, kehancuran, bencana, dan indigo, yang sesungguhnya menampilkan sisi pesimisme akan masa depan.
Kekerasan verbal seperti ini menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang percaya pada takhayul dan benda-benda keramat. Krisis jati diri akibat kekerasan verbal seperti ini sudah sepatutnya segera disikapi agar tidak berlarut-larut hingga lunturnya bahkan hilangnya jati diri individu bangsa Indonesia. Kekerasan verbal tidak hanya dapat dilihat pada ruang-ruang dunia maya dan acara televisi saja, tetapi juga muncul di ruang-ruang publik. Seperti contoh bahasa lisan yang digunakan Gayus (anggota DPR RI) berikut : “Anda jangan kurang ajar! Nyebut-nyebut profesor!” dan bahasa lisan Ruhut (anggota DPR RI) berikut: “Diam kau bangsat!”.
Fenomena ini menunjukkan bahasa lisan beberapa anggota legislatif yang seharusnya merekonstruksi tatanan nilai, moral atau makna kehidupan berbangsa, bergeser menjadi sarkasme, agitatif, dan kehilangan muatan nilai etis dan estetika. Ekspresi bahasa lisan anggota legislatif telah mengalamim krisis, kehilangan kata dan retorika tanpa estetika. Terdapat contoh lain yang menunjukkan krisis jati diri bangsa Indonesia. Konflik atau persoalan di masyarakat mudah memicu lontaran ungkapan kasar, baik secara lisan maupun tulis yang menggambarkan jati diri bangsa yang pemarah, cepat naik darah, dan sulit mengendalikan diri.
Bukankah sebaiknya kekerasan verbal seperti ini dapat digantikan dengan:
Ungkapan-ungkapan seperti ini lebih menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang terkenal ramah, sopan , santun, dan penuh basa-basi. Bahkan, jika ingin lebih menunjukkan jati diri bangsa Indonesia, bahasa-bahasa iklan tersebut dapat dibuat dalam bentuk pantun. Terlebih jika bahasa iklan yang di pasang di sekitar wilayah Jakarta dengan budaya Betawinya yang terkenal dengan berpantun. Seperti contoh berikut:
Ke Tanah Abang lewatin Senayan
Mampir dulu ke Mangga Dua
Kalau mau aman dan nyaman
Jangan serobot jalur Transjakarta
Biar menang biar kalah
Asalkan bahagia
Kalau mau buang sampah
Jangan di sini ya....
Terdapat contoh lain yang ditemukan di pinggiran jalan. Ungkapan “jangan seperti saya” dipampang di atas sebuah kendaraan yang sudah hancur retak yang diperkirakan akibat sebuah kecelakaan oleh polisi. Ungkapan seperti seolah-olah mengintimidasi berikut mengancam para pengendara mobil dan roda dua. Betapa indahnya jika ungkapan yang digunakan polisi untuk mengingatkan sahabatnya pengendara motor dengan bahasa “hati-hati, jalan licin” atau “hati-hati, kecelakaan rentan terjadi akibat ngebut di jalanan”. Ungkapan-ungkapan seperti ini lebih mencitrakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang peduli dan penuh kasih.
Mungkin selama ini tidak disadari bahwa kita sering melakukan kekerasan yang bersifat verbal dalam artian tidak berbentuk fisik melainkan melalui ucapan yang kadang dianggap sebagai candaan atau guraun semata. Ketidakpedulian kita terhadap fenomena kekerasan verbal ini akan melunturkan jati diri kita sebagai bangsa yang bermartabat dan beradab.
Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan sebagai Upaya Mengobati Krisis Jati Diri Bangsa.
Melihat paparan di atas, menyadarkan kita betapa perlunya menyikapi dan menemukan solusi dari maraknya kekerasan verbal. Salah satunya yaitu dengan membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan. Generasi muda adalah harapan bangsa. Di tangan mereka kelak, nasib bangsa ini akan ditentukan. Sebagai penerus bangsa, negara ini tidak hanya membutuhkan jiwa-jiwa muda yang berilmu saja tanpa berkepribadian positif. Jika hanya ilmu yang dijadikan tolok ukur, sangat miris nasib negara ini. Negara ini membutuhkan generasi muda berkarakter yang mempunyai kompetensi baik di bidang intelektual, spiritual, dan emosional.
Pencanangan pendidikan berkarakter oleh presiden itu bukanlah tanpa alasan yang jelas. Pencanangan pendidikan berkarakter bagi dunia pendidikan adalah suatu angin segar bagi peningkatan kualitas pendidikan generasi muda Indonesia. Terobosan ini merupakan dampak dari pencandraan terhadap situasi dan kondisi negara ini. Salah satu tolok ukur generasi yang berkarakter adalah generasi yang dapat berbahasa yang santun. Bahasa adalah cermin kepribadian seseorang. Dengan bahasa kita dapat menilai etika seseorang. Oleh sebab itu, pembudayaan kesantuan berbahasa di pendidikan formal dan informal sangat diperlukan agar ke depan kita mempunyai penurus bangsa yang cerdas dalam segala hal.
Upaya pertama adalah dengan membuka satu mata pelajaran baru yaitu mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana etika berbahasa dan berperilaku. Mata pelajaran ini dapat dinamakan mata pelajaran etika. Khusus untuk etika berbahasa diajarkan kepada peserta didik bagaimana konsep-konsep berbahasa yang santun dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan suatu tuturan akan berbeda persepsi kesantunannyan jika berada dalam masyarakat yang berbeda juga.
Kedua, dengan mengintegrasikan pembelajaran etika berbahasa dalam proses belajar mengajar. Guru harus mencontohkan tutur kata santun pada lingkungan di sekitar dan khususnya pada peserta didik, sebab guru digugu ‘diikuti’ dan ditiru ‘dijadikan contoh’. Untuk itu, perlu diadakan pelatihan bagi guru-guru tentang konsep kesantunan berbahasa dan ini harus diaplikasikan pada peserta didik secara nyata. Pelatihan-pelatihan ini harus terkoordinasi dengan baik agar tujuan dapat tercapai. Pusat kurikulum telah membentuk master training untuk melatih pengawas, guru, dan kepala sekolah untuk menjadi pionir pendidikan karakter bangsa di satuan pendidikan. Kajian kesantunan berbahasa harus menjadi materi penting dalam pelatihan ini.
Masih dengan tujuan yang sama yaitu pentingnya kajian kesantunan berbahasa bagi pengajar, maka selayaknyalah diadakan tes UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) sebagai prasyarat menjadi seorang tenaga pendidik. UKBI adalah tes standar yang dirancang guna mengevaluasi kemahiran seseorang dalam berbahasa Indonesia, baik tulis maupun lisan. Bagi lembaga pendidikan jika akan merekrut guru bahasa Indonesia maka harus mempertanyakan skor kemahiran berbahasa indonesianya atau sertifikat UKBI wajib dimiliki. Bukan hanya wajib bagi guru bahasa Indonesia tetapi juga guru-guru mata pelajaran lainnya, tentunya standar skor yang diwajinkan berbeda. Demikian pula bagi instansi pemerintah yang akan merekrut tenaga PNS maka UKBI harus menjadi salah satu syaratnya. Tidak menutup kemungkinan bagi instansi swasta juga mewajibkan karyawannya mengikuti UKBI.
Berbahasa santun harus sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki setiap individu sejak kecil. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun sebab anak merupakan generasi penerus yang akan hidup sesuai dengan zamannya. Ingat slogan “gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Penekanannya adalah penggunaan bahasa secara baik kemudian benar. Indikator baik adalah sopan dan indikator benar adalah kaidah bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dapat dipergunakan untuk pembentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa kita tercinta. Diharapkan siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif dan disiplin, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, memahami dan menekuni konsep abstrak, serta memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek itu merupakan aspek yang terintegrasi dalam pembelajaran walaupun dalam penyajian silabusnya keempat aspek itu masih dapat dipisahkan. Harus disadari bahwa pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam berkomunikasi diharapkan siswa memiliki kemampuan untuk memilih dan bertutur kata yang baik sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Upaya untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang bertutur kata santun merupakan hal yang sangat penting karena masyarakat sekarang ini tengah bergerak ke arah yang semakin maju dan modern.
Pusat Bahasa sebagai Lembaga Sensor Bahasa
Jika ada lembaga sensor film, mengapa tidak ada lembaga sensor bahasa? Perubahan bahasa yang mengarah pada ketidaktertiban penggunaan bahasa sudah seharusnya ditanggapi dengan serius. Perlunya lembaga sensor bahasa adalah untuk sensoran penggunaan bahasa yang baik dan benar. Baik mengacu pada makna sopan, dan benar mengacu pada makna sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Untuk itu, pusat bahasa adalah lembaga penyensor yang tepat untuk mengelola penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini. Selain bertugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, serta pelindungan bahasa dan sastra indonesia, pusat bahasa juga bertugas sebagai lembaga sensor bahasa. Keberadaan lembaga sensor bahasa oleh pusat bahasa turut menyukseskan misi pusat bahasa itu sendiri, yaitu berperan aktif dalam usaha melakukan pengembangan, pembinaan, serta pelindungan bahasa dan sastra Indonesia.
Bahasa-bahasa iklan, poster, himbauan, dan larangan yang akan dipampang di ruang-ruang publik, serta judul tayangan di media elektronik harus disensor terlebih dahulu melalu lembaga sensor bahasa. Mendirikan lembaga sensor bahasa tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan ketetapan undang-undang yang memberlakukan fungsi lembaga sensor bahasa dan ahli-ahli bahasa yang mumpuni pada bidang penyensoran bahasa. Namun, tidak ada yang tidak mungkin dilakukan. Selama kita sungguh-sungguh dan yakin, kehadiran lembaga sensor bahasa ini dapat kita rasakan.
II. PENUTUP
Perubahan bahasa yang mengarah pada ketidaktertiban penggunaan bahasa Indonesia menandai terjadinya krisis jati diri bangsa Indonesia. Salah satu bentuk perubahan bahasa yang terjadi adalah maraknya kekerasan verbal, mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Di forum-forum seperti ini ditemukan ungkapan-ungkapan serapah, ungkapan-ungkapan jahil yang mengarah pornografis, ungkapan-ungkapan mistis, dan lain sebagainya.
Maraknya kekerasan verbal seperti ini menandai terjadinya krisis jati diri bangsa. Untuk itu, perlu penanganan yang serius. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan menjadikan pusat bahasa sebagai lembaga sensor bahasa yang betugas dalam penertiban ragam tulis di ruang-ruang publik. Upaya ini dapat terlaksana dengan adanya kerja sama pemerintah, pakar dan pemerhati bahasa, kaum intelektual, dan masyarakat khusunya generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Oktarina, Santi. 2010. “Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan: Upaya Pembentukan Sikap Generasi Muda Berkarakter”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa, 30 Oktober 2010.
Sumber : rahmiyuliaduta.blogspot.com
![]() |
Image : intisari-online.com |
Terkait dengan efek negatif Kekuatan Kata-Kata tersebut, kali ini sebuah artikel karya Rahmi Yulia, seorang Duta Bahasa Nasional sengaja saya pilihkan buat para reader untuk melihat betapa Kesantunan yang dulunya melekat sebagai jati diri bangsa Indonesia, kini tengah dilanda krisis yang hebat, ditandai dengan maraknya kekerasan verbal di area publik. OK, langsung aja di cekidot, check it out maksudnya :)
I. PENDAHULUAN
Sejak sekolah dasar, guru di Indonesia pada umumnya telah memberitahu bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Slogan ini membutuhkan deksripsi dan narasi yang argumentatif. Bahasa pada ungkapan bahasa menunjukkan bangsa mengacu pada dua hal: pertama bahasa itu sendiri dengan segala perilakunya, dan kedua, penggunaan bahasa. Pada rujukan pertama , kita dapat melihat suatu bangsa yang membedakannya dari bangsa lain dari sudut morfologis, sintaksis, dan semantis.
Sementara pada rujukan kedua, bahasa dikaitkan dengan bagaimana fungsi suatu bahasa dipakai oleh pengguna bahasa dan menggambarkan karakter atau jati diri penggunanya. Dalam konteks mengajak masyarakat Indonesia berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, sering didengungkan ungkapan bahasa Indonesia adalah jati diri bangsa Indonesia, yang tidak lain berarti bahasa Indonesia adalah ciri-ciri bangsa Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia yang digunakan secara umum oleh orang Indonesia menampilkan sifat, tabiat, ataupun watak orang Indonesia secara umum pula. Sepertihalnya bahasa Jawa yang kaya akan adjektiva perasaan, menunjukkan karakter umum orang Jawa yang pandai menghayati dan mengolah rasa. Seseorang yang mudah melontarkan ungkapan makian mencerminkan sulitnya ia mengendalikan perasaan.Bagaimana dengan realitas kondisi bangsa kita, bangsa Indonesia? Bangsa Indonesia kini tengah mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya kekerasan verbal mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Kenyataan menunjukkan krisis jati diri individu-individu manusia Indonesia yang berakibat luntur dan rusaknya jati diri bangsa Indonesia. Sebagaimana pesan sebuah kalimat bijak when character is lost, everything is lost.
Untuk itu, tulisan ini akan memaparkan bagaimana kekerasan verbal yang terjadi di Indonesia turut menandai krisis jati diri bangsa, bagaimana membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan peran pusat bahasa sebagai lembaga sensor bahasa dalam menyikapi maraknya kekerasan verbal sebagai solusi mengobati kiris jati diri bangsa akibat kekerasan verbal.
II. PEMBAHASAN
Kekerasan Verbal dan Jati Diri Bangsa
Kekerasan tidak hanya muncul melalui adegan-adegan sadis tetapi juga melalui kata-kata yang dikenal dengan sebutan kekerasan verbal. Kenyataan berbahasa Indonesia yang makin jelas terlihat dewasa ini adalah kekerasan verbal melalui penggunaan ungkapan sumpah serapah, kalimat dengan gaya bahasa kasar, dan sindiran. Ungkapan serapah makin banyak memasuki ruang-ruang publik, mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Para pengguna dengan santainya berekspresi menggunakan bahasa yang dianggap gaul, termasuk dalam berserapah tanpa kekhawatiran diawasi atau dianggap tidak santun. Berserapah, baik untuk tujuan memperkuat solidaritas pertemanan maya maupun tujuan melawan musuh maya, menjadi tidak tabu dalam komunikasi melalui komputer. Ada sebuah contoh yang dikutip dari pesan facebook 11 oktober 2011 lalu bertuliskan “semua laki2 itu bajingan. Mereka sendiri yg ngmng kyk gt ke gw, menurut lo gmn?”. Tulisan ini menunjukkan betapa kata-kata makian mudah dilontarkan tanpa hambatan. Kata “bajingan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan “penjahat, pencopet, kurang ajar”. Jika semua laki-laki membaca tulisan ini, dapat dibayangkan apa yang terjadi dan seperti apa respon yang akan diberikan kaum laki-laki.
Fenomena seperti ini menunjukkan bahwa individu Indonesia berwatak kasar dan tidak tahu sopan santun. Di bawah tulisan ini pun ada yang berkomentar “laki-laki masuk dalam 2 kategori, kalau g bajingan ya homo #mengutipkataradiyadika”. Bukankah laki-laki adalah kaum pemimpin yang selayaknya dihargai bahkan dihormati, bukan untuk dimaki-maki secara serampangan. Bahkan tulisan tersebut disebutkan kutipan dari sebuah novel remaja. Fenomena ini semakin memperjelas terjadinya krisis jati diri bangsa. Masih banyak lagi kekerasan-kekerasan verbal lainnya yang dapat dilihat pada obrolan-obrolan internet dan telepon genggam. Ruang-ruang obrolan di internet pun menyebarluaskan serapahan baru yang dilancarkan remaja seperti cupu, anjrit, katro, jayus, lemot, jijay, jablay, gokil, dan lain sebagainya.
Acara realitas di televisi kerap mengumbar kekerasan verbal. Salah satu contoh acara televisi yang menunjukkan adanya indikasi tindak kekerasan verbal orang tua dan anak dalam tuturannya adalah acara Happy Family: Me VS Mom yang ditayangkan Trans TV. Selain itu,masih segar dalam ingatan kita bagaimana kekerasan verbal terumbar dalam acara realitas curhat bareng Anjasmara yang secara tepat dihentikan penyiarannya oleh Komisi Penyiaran Indonesia.
Acara-acara realitas seperti ini umumnya menampilkan bagaimana kekerasan verbal yang tidak jarang diikuti kekerasan fisik, seperti saling dorong dan tangisan untuk mengakhiri dan menangani persoalan. Tampak persoalan mudah terselesaikan dengan kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan air mata yang sebenarnya merupakan ekspresi ketidaksabaran, atau bahkan frustasi dan keputusasaan. Padahal, yang menyelesaikan persoalan bukan pengguna kekerasan verbal itu, melainkan keterpaksaan para tokoh yang terlibat dalam persoalan setelah sadar direkam oleh stasiun televisi dan khawatir dicemooh oleh penonton.
Alhasil, individu Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang santun, bersusila, saling menghormati dan menghargai layaknya budaya timur, tengah mengalami krisis. Kini berubah menjadi bangsa yang kasar dan terkenal songong. Nama-nama acara yang ditayangkan di televisi cenderung negatif sehingga menuntut hadirnya kekerasan verbal. seperti tidak mau kalah bersaing dengan ungkapan serapah dan kosakata negatif, ungkapan pornografis dan ungkapan mistis juga mudah dijumpai pada tayangan-tayangan televisi. Acara lawak, kuis, pamer cakap, dan realitas baik di televisi, surat kabar, majalah, novel, film, dan blog, seperti sudah memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan hal-hal yang pornografis dan mistis.
Acara pamer cakap seperti empat mata dan bukan empat mata serta kuis-kuis tengah malam menebar ungkapan jahil yang mengarah pornografis. Acara realitas seperti percaya ga percaya, uka-uka, pemburu hantu, dunia lain, (masih) dunia lain, scary job, realigi dan mitos-mitos masyarakat yang memborbardir pemirsa dengan kata-kata kunci seperti alam gaib, penampakan, bayangan, angker, tua, kuntilanak, tuyul, santet, ilmu hitam, seram, paranormal, kerasukan, yang menawarkan keasyikan akan ditakut-takuti bagi pemirsa Indonesia. tokoh-tokoh cenayang pun bermunculan melontarkan ramalan tentang masa depan sehingga bertebaranlah ungkapan-ungkapan seperti kiamat, 2012, kehancuran, bencana, dan indigo, yang sesungguhnya menampilkan sisi pesimisme akan masa depan.
Kekerasan verbal seperti ini menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang percaya pada takhayul dan benda-benda keramat. Krisis jati diri akibat kekerasan verbal seperti ini sudah sepatutnya segera disikapi agar tidak berlarut-larut hingga lunturnya bahkan hilangnya jati diri individu bangsa Indonesia. Kekerasan verbal tidak hanya dapat dilihat pada ruang-ruang dunia maya dan acara televisi saja, tetapi juga muncul di ruang-ruang publik. Seperti contoh bahasa lisan yang digunakan Gayus (anggota DPR RI) berikut : “Anda jangan kurang ajar! Nyebut-nyebut profesor!” dan bahasa lisan Ruhut (anggota DPR RI) berikut: “Diam kau bangsat!”.
Fenomena ini menunjukkan bahasa lisan beberapa anggota legislatif yang seharusnya merekonstruksi tatanan nilai, moral atau makna kehidupan berbangsa, bergeser menjadi sarkasme, agitatif, dan kehilangan muatan nilai etis dan estetika. Ekspresi bahasa lisan anggota legislatif telah mengalamim krisis, kehilangan kata dan retorika tanpa estetika. Terdapat contoh lain yang menunjukkan krisis jati diri bangsa Indonesia. Konflik atau persoalan di masyarakat mudah memicu lontaran ungkapan kasar, baik secara lisan maupun tulis yang menggambarkan jati diri bangsa yang pemarah, cepat naik darah, dan sulit mengendalikan diri.
- “Hari gini nyerobot jalur bus Transjakarta? Malu, dong!” (stiker di kaca belakang bus-bus Transjakarta).
- Dilarang membuang sampah di sini kecuali anjing! (coretan di tembok-tembok).
Bukankah sebaiknya kekerasan verbal seperti ini dapat digantikan dengan:
- “Terima kasih Anda tidak menyerobot jalur bus Transjakarta”.
- “Dimohon untuk tidak membuang sampah di areal ini”
Ungkapan-ungkapan seperti ini lebih menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang terkenal ramah, sopan , santun, dan penuh basa-basi. Bahkan, jika ingin lebih menunjukkan jati diri bangsa Indonesia, bahasa-bahasa iklan tersebut dapat dibuat dalam bentuk pantun. Terlebih jika bahasa iklan yang di pasang di sekitar wilayah Jakarta dengan budaya Betawinya yang terkenal dengan berpantun. Seperti contoh berikut:
Ke Tanah Abang lewatin Senayan
Mampir dulu ke Mangga Dua
Kalau mau aman dan nyaman
Jangan serobot jalur Transjakarta
Biar menang biar kalah
Asalkan bahagia
Kalau mau buang sampah
Jangan di sini ya....
Terdapat contoh lain yang ditemukan di pinggiran jalan. Ungkapan “jangan seperti saya” dipampang di atas sebuah kendaraan yang sudah hancur retak yang diperkirakan akibat sebuah kecelakaan oleh polisi. Ungkapan seperti seolah-olah mengintimidasi berikut mengancam para pengendara mobil dan roda dua. Betapa indahnya jika ungkapan yang digunakan polisi untuk mengingatkan sahabatnya pengendara motor dengan bahasa “hati-hati, jalan licin” atau “hati-hati, kecelakaan rentan terjadi akibat ngebut di jalanan”. Ungkapan-ungkapan seperti ini lebih mencitrakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang peduli dan penuh kasih.
Mungkin selama ini tidak disadari bahwa kita sering melakukan kekerasan yang bersifat verbal dalam artian tidak berbentuk fisik melainkan melalui ucapan yang kadang dianggap sebagai candaan atau guraun semata. Ketidakpedulian kita terhadap fenomena kekerasan verbal ini akan melunturkan jati diri kita sebagai bangsa yang bermartabat dan beradab.
Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan sebagai Upaya Mengobati Krisis Jati Diri Bangsa.
Melihat paparan di atas, menyadarkan kita betapa perlunya menyikapi dan menemukan solusi dari maraknya kekerasan verbal. Salah satunya yaitu dengan membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan. Generasi muda adalah harapan bangsa. Di tangan mereka kelak, nasib bangsa ini akan ditentukan. Sebagai penerus bangsa, negara ini tidak hanya membutuhkan jiwa-jiwa muda yang berilmu saja tanpa berkepribadian positif. Jika hanya ilmu yang dijadikan tolok ukur, sangat miris nasib negara ini. Negara ini membutuhkan generasi muda berkarakter yang mempunyai kompetensi baik di bidang intelektual, spiritual, dan emosional.
Pencanangan pendidikan berkarakter oleh presiden itu bukanlah tanpa alasan yang jelas. Pencanangan pendidikan berkarakter bagi dunia pendidikan adalah suatu angin segar bagi peningkatan kualitas pendidikan generasi muda Indonesia. Terobosan ini merupakan dampak dari pencandraan terhadap situasi dan kondisi negara ini. Salah satu tolok ukur generasi yang berkarakter adalah generasi yang dapat berbahasa yang santun. Bahasa adalah cermin kepribadian seseorang. Dengan bahasa kita dapat menilai etika seseorang. Oleh sebab itu, pembudayaan kesantuan berbahasa di pendidikan formal dan informal sangat diperlukan agar ke depan kita mempunyai penurus bangsa yang cerdas dalam segala hal.
Upaya pertama adalah dengan membuka satu mata pelajaran baru yaitu mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana etika berbahasa dan berperilaku. Mata pelajaran ini dapat dinamakan mata pelajaran etika. Khusus untuk etika berbahasa diajarkan kepada peserta didik bagaimana konsep-konsep berbahasa yang santun dikaitkan dengan kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan suatu tuturan akan berbeda persepsi kesantunannyan jika berada dalam masyarakat yang berbeda juga.
Kedua, dengan mengintegrasikan pembelajaran etika berbahasa dalam proses belajar mengajar. Guru harus mencontohkan tutur kata santun pada lingkungan di sekitar dan khususnya pada peserta didik, sebab guru digugu ‘diikuti’ dan ditiru ‘dijadikan contoh’. Untuk itu, perlu diadakan pelatihan bagi guru-guru tentang konsep kesantunan berbahasa dan ini harus diaplikasikan pada peserta didik secara nyata. Pelatihan-pelatihan ini harus terkoordinasi dengan baik agar tujuan dapat tercapai. Pusat kurikulum telah membentuk master training untuk melatih pengawas, guru, dan kepala sekolah untuk menjadi pionir pendidikan karakter bangsa di satuan pendidikan. Kajian kesantunan berbahasa harus menjadi materi penting dalam pelatihan ini.
Masih dengan tujuan yang sama yaitu pentingnya kajian kesantunan berbahasa bagi pengajar, maka selayaknyalah diadakan tes UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) sebagai prasyarat menjadi seorang tenaga pendidik. UKBI adalah tes standar yang dirancang guna mengevaluasi kemahiran seseorang dalam berbahasa Indonesia, baik tulis maupun lisan. Bagi lembaga pendidikan jika akan merekrut guru bahasa Indonesia maka harus mempertanyakan skor kemahiran berbahasa indonesianya atau sertifikat UKBI wajib dimiliki. Bukan hanya wajib bagi guru bahasa Indonesia tetapi juga guru-guru mata pelajaran lainnya, tentunya standar skor yang diwajinkan berbeda. Demikian pula bagi instansi pemerintah yang akan merekrut tenaga PNS maka UKBI harus menjadi salah satu syaratnya. Tidak menutup kemungkinan bagi instansi swasta juga mewajibkan karyawannya mengikuti UKBI.
Berbahasa santun harus sudah menjadi suatu tradisi yang dimiliki setiap individu sejak kecil. Anak perlu dibina dan dididik berbahasa santun sebab anak merupakan generasi penerus yang akan hidup sesuai dengan zamannya. Ingat slogan “gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Penekanannya adalah penggunaan bahasa secara baik kemudian benar. Indikator baik adalah sopan dan indikator benar adalah kaidah bahasa Indonesia.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dapat dipergunakan untuk pembentuk karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa kita tercinta. Diharapkan siswa memiliki kemampuan menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual (berpikir kreatif dan disiplin, menggunakan akal sehat, menerapkan pengetahuan yang berguna, memahami dan menekuni konsep abstrak, serta memecahkan masalah), kematangan emosional dan sosial.
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup kemampuan berbahasa dan kemampuan bersastra yang meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Keempat aspek itu merupakan aspek yang terintegrasi dalam pembelajaran walaupun dalam penyajian silabusnya keempat aspek itu masih dapat dipisahkan. Harus disadari bahwa pada hakikatnya belajar bahasa adalah belajar berkomunikasi. Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis.
Dalam berkomunikasi diharapkan siswa memiliki kemampuan untuk memilih dan bertutur kata yang baik sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Upaya untuk menciptakan lingkungan masyarakat yang bertutur kata santun merupakan hal yang sangat penting karena masyarakat sekarang ini tengah bergerak ke arah yang semakin maju dan modern.
Pusat Bahasa sebagai Lembaga Sensor Bahasa
Jika ada lembaga sensor film, mengapa tidak ada lembaga sensor bahasa? Perubahan bahasa yang mengarah pada ketidaktertiban penggunaan bahasa sudah seharusnya ditanggapi dengan serius. Perlunya lembaga sensor bahasa adalah untuk sensoran penggunaan bahasa yang baik dan benar. Baik mengacu pada makna sopan, dan benar mengacu pada makna sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia.
Untuk itu, pusat bahasa adalah lembaga penyensor yang tepat untuk mengelola penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar ini. Selain bertugas melaksanakan pengembangan, pembinaan, serta pelindungan bahasa dan sastra indonesia, pusat bahasa juga bertugas sebagai lembaga sensor bahasa. Keberadaan lembaga sensor bahasa oleh pusat bahasa turut menyukseskan misi pusat bahasa itu sendiri, yaitu berperan aktif dalam usaha melakukan pengembangan, pembinaan, serta pelindungan bahasa dan sastra Indonesia.
Bahasa-bahasa iklan, poster, himbauan, dan larangan yang akan dipampang di ruang-ruang publik, serta judul tayangan di media elektronik harus disensor terlebih dahulu melalu lembaga sensor bahasa. Mendirikan lembaga sensor bahasa tentu tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan ketetapan undang-undang yang memberlakukan fungsi lembaga sensor bahasa dan ahli-ahli bahasa yang mumpuni pada bidang penyensoran bahasa. Namun, tidak ada yang tidak mungkin dilakukan. Selama kita sungguh-sungguh dan yakin, kehadiran lembaga sensor bahasa ini dapat kita rasakan.
II. PENUTUP
Perubahan bahasa yang mengarah pada ketidaktertiban penggunaan bahasa Indonesia menandai terjadinya krisis jati diri bangsa Indonesia. Salah satu bentuk perubahan bahasa yang terjadi adalah maraknya kekerasan verbal, mulai dari forum diskusi dan ruang mengobrol di internet, komunikasi melalui telepon seluler, novel remaja, acara sinetron dan acara realitas (reality show) di televisi, bahasa-bahasa di papan iklan, hingga di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Di forum-forum seperti ini ditemukan ungkapan-ungkapan serapah, ungkapan-ungkapan jahil yang mengarah pornografis, ungkapan-ungkapan mistis, dan lain sebagainya.
Maraknya kekerasan verbal seperti ini menandai terjadinya krisis jati diri bangsa. Untuk itu, perlu penanganan yang serius. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membudayakan kesantunan berbahasa melalui pendidikan dan menjadikan pusat bahasa sebagai lembaga sensor bahasa yang betugas dalam penertiban ragam tulis di ruang-ruang publik. Upaya ini dapat terlaksana dengan adanya kerja sama pemerintah, pakar dan pemerhati bahasa, kaum intelektual, dan masyarakat khusunya generasi muda.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.
Oktarina, Santi. 2010. “Membudayakan Kesantunan Berbahasa melalui Pendidikan: Upaya Pembentukan Sikap Generasi Muda Berkarakter”. Makalah yang disajikan dalam Seminar Nasional Bulan Bahasa, 30 Oktober 2010.
Sumber : rahmiyuliaduta.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar