"Wahai Abi Dzar, perkokohlah perahumu karena samudera itu sangat dalam, perbanyak bekalmu karena perjalan masih panjang dan kurangilah bebanmu"
Demikian bunyi salah satu potongan mahfudzat (Hafalan Kata Mutiara Arab) yang sangat akrab dikalangan para santri. Meski orientasi Mahfudzat yang bersumber dari hadits riwayat Dailamy ini lebih kepada memperbanyak amalan dan mengurangi dosa, konsep “Bekal versus Beban” yang diusungnya tampak relevan dalam banyak ranah kehidupan.
Dalam kondisi seseorang menghadapi perjalan jauh, ketika ia mempersiapkan bekal finansial, pakaian, perlengkapan dan berbagai hal yang akan dipergunakan selama dalam perjalanan, jelas hal itu menyita waktu dan menjadi beban sebelum perjalanan. Namun ketika ia tidak meluangkan waktu untuk menyiapkan bekalnya, besar kemungkinan dalam perjalanan tersebut ia akan mengalami kesulitan dan merasa terbebani kala benda-benda yang ia butuhkan tidak tersedia.
Dihubungkan dengan tugas keseharian seorang guru, kegiatan mengajar dan mendidik dapat diibaratkan sebagai perjalanan intelektual dan emosional yang penuh tantangan, sehingga tentunya juga butuh banyak bekal dan sedikit beban. Bagaimana dengan media pembelajaran? beban atau bekal?
Media Pembelajaran yang secara esensial mencakup segala alat fisik yang dapat menyajikan peran serta merangsang siswa untuk belajar (Briggs: 1970), pada awalnya memang hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar (Teaching Aids). Namun seiring perkembangan teknologi dan psykologi pendidikan yang mulai fokus pada siswa sebagai subjek (bukan semata objek) belajar, Media pembelajaran telah bertransformasi menjadi alat penyalur pesan (Kurir) yang tidak hanya digunakan oleh guru tetapi dapat pula digunakan oleh siswa (Sadiman: 2007)
Sebuah media terprogram yang dirancang dan dibuat dengan memperhatikan berbagai prinsip pengembangan kurikulum dan pengajaran termasuk analisa terhadap aspek perbedaan individu peserta didik, bila diterapkan secara tepat, akan mampu:
(*) Menyulap konsep yang abstrak menjadi lebih kongkrit
(*) Memperjelas penyajian pesan sehingga tidak terlalu bersifat verbalistis
(*) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
(*) Meminimalisir sikap pasif siswa.
(*) Mempersamakan rangsangan, pengalaman dan persepsi,
(*) Memungkinkan siswa belajar mandiri, sesuai bakat, kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya.
(*) Menimbulkan gairah belajar melalui interaksi langsung antara siswa dan sumber belajar
Teori dan bukti keunggulan penggunaan media ini tentu saja bukan hal baru yang mesti disosialisakan lagi. Justru terasa janggal bila di era Ledakan Pengetahuan seperti sekarang masih ada guru yang belum tahu.
Cuma saja temuan di lapangan cukup mengejutkan. Dari seratusan guru yang penulis observasi dalam tugas keseharian sebagai Pengawas Pendidikan Madrasah, diketahui bahwa jumlah guru yang menerap-kan pembelajaran menggunakan media tidak sampai 10%, itupun ketika mereka diberitahu akan didatangi tim monitoring.
Secara prinsip semua setuju bahwa penggunaan media pembelajaran sangat urgens dan tidak terpisahkan dari proses pembelajaran yang berkualitas. Namun beragam persoalan --mulai dari tidak punya waktu luang untuk mempersiapkan media karena harus mengerjakan tugas-tugas lain demi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga (khususnya guru-guru honorer), kekurangan biaya untuk pembuatan media, keterbatasan bahan dan pengetahuan sampai kepada persoalan kurangnya pembinaan-- seolah-olah memperlihatkan bahwa media pembelajaran menjadi beban tugas tambahan bagi mereka.
Tanpa bermaksud mereduksi realitas yang mengemuka dalam alasan-alasan tadi, perlu disadari bahwa tidak ada musafir yang ingin terlantar dalam perjalannya dan tentunya juga tidak ada guru yang mau tugasnya sia-sia, apalagi sampai kandas gara-gara kejutan negatif yang tidak terduga dari peserta didik (Saat ini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar, sehingga sangat mungkin siswa lebih tahu dari guru)
Ringkasnya, Kalaulah media dianggap sebagai bekal yang betul-betul akan dibutuhkan guru dalam pelaksanaan Kegiatan/proses belajar mengajar (KBM/PBM) maka seberat dan sesulit apa pun kondisinya harus tetap diupayakan, baik oleh guru itu sendiri maupun bersama pihak-pihak pemangku kepentingan. Sehingga tugas-tugas yang awalnya terasa sebagai beban itu bermutasi ke arah persiapan (perbekalan) yang justru dimaksudkan untuk mengurangi beban dalam pelaksanaan tugas yang sesungguhnya.
Melihat lebih jauh ke depan, sepertinya pada masa mendatang media pembelajaran bukan lagi sekedar bekal yang akan mengiringi pelaksanaan tugas seorang guru, melainkan sudah menjadi kendaraan yang berakselerasi antar individu. Para pejalan kaki akan semakin jauh tertinggal seiring para perenang yang kehabisan tenaga di tengah samudera. Sementara para pengendara akan terus berupaya meningkatkan performa kendaraannya sejalan dengan pelaut yang kian berpetualang dengan bahteranya.
Demikian bunyi salah satu potongan mahfudzat (Hafalan Kata Mutiara Arab) yang sangat akrab dikalangan para santri. Meski orientasi Mahfudzat yang bersumber dari hadits riwayat Dailamy ini lebih kepada memperbanyak amalan dan mengurangi dosa, konsep “Bekal versus Beban” yang diusungnya tampak relevan dalam banyak ranah kehidupan.
Dalam kondisi seseorang menghadapi perjalan jauh, ketika ia mempersiapkan bekal finansial, pakaian, perlengkapan dan berbagai hal yang akan dipergunakan selama dalam perjalanan, jelas hal itu menyita waktu dan menjadi beban sebelum perjalanan. Namun ketika ia tidak meluangkan waktu untuk menyiapkan bekalnya, besar kemungkinan dalam perjalanan tersebut ia akan mengalami kesulitan dan merasa terbebani kala benda-benda yang ia butuhkan tidak tersedia.
Dihubungkan dengan tugas keseharian seorang guru, kegiatan mengajar dan mendidik dapat diibaratkan sebagai perjalanan intelektual dan emosional yang penuh tantangan, sehingga tentunya juga butuh banyak bekal dan sedikit beban. Bagaimana dengan media pembelajaran? beban atau bekal?
Media Pembelajaran yang secara esensial mencakup segala alat fisik yang dapat menyajikan peran serta merangsang siswa untuk belajar (Briggs: 1970), pada awalnya memang hanya dianggap sebagai alat bantu mengajar (Teaching Aids). Namun seiring perkembangan teknologi dan psykologi pendidikan yang mulai fokus pada siswa sebagai subjek (bukan semata objek) belajar, Media pembelajaran telah bertransformasi menjadi alat penyalur pesan (Kurir) yang tidak hanya digunakan oleh guru tetapi dapat pula digunakan oleh siswa (Sadiman: 2007)
Sebuah media terprogram yang dirancang dan dibuat dengan memperhatikan berbagai prinsip pengembangan kurikulum dan pengajaran termasuk analisa terhadap aspek perbedaan individu peserta didik, bila diterapkan secara tepat, akan mampu:
(*) Menyulap konsep yang abstrak menjadi lebih kongkrit
(*) Memperjelas penyajian pesan sehingga tidak terlalu bersifat verbalistis
(*) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indera.
(*) Meminimalisir sikap pasif siswa.
(*) Mempersamakan rangsangan, pengalaman dan persepsi,
(*) Memungkinkan siswa belajar mandiri, sesuai bakat, kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya.
(*) Menimbulkan gairah belajar melalui interaksi langsung antara siswa dan sumber belajar
Teori dan bukti keunggulan penggunaan media ini tentu saja bukan hal baru yang mesti disosialisakan lagi. Justru terasa janggal bila di era Ledakan Pengetahuan seperti sekarang masih ada guru yang belum tahu.
Cuma saja temuan di lapangan cukup mengejutkan. Dari seratusan guru yang penulis observasi dalam tugas keseharian sebagai Pengawas Pendidikan Madrasah, diketahui bahwa jumlah guru yang menerap-kan pembelajaran menggunakan media tidak sampai 10%, itupun ketika mereka diberitahu akan didatangi tim monitoring.
Secara prinsip semua setuju bahwa penggunaan media pembelajaran sangat urgens dan tidak terpisahkan dari proses pembelajaran yang berkualitas. Namun beragam persoalan --mulai dari tidak punya waktu luang untuk mempersiapkan media karena harus mengerjakan tugas-tugas lain demi pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga (khususnya guru-guru honorer), kekurangan biaya untuk pembuatan media, keterbatasan bahan dan pengetahuan sampai kepada persoalan kurangnya pembinaan-- seolah-olah memperlihatkan bahwa media pembelajaran menjadi beban tugas tambahan bagi mereka.
Tanpa bermaksud mereduksi realitas yang mengemuka dalam alasan-alasan tadi, perlu disadari bahwa tidak ada musafir yang ingin terlantar dalam perjalannya dan tentunya juga tidak ada guru yang mau tugasnya sia-sia, apalagi sampai kandas gara-gara kejutan negatif yang tidak terduga dari peserta didik (Saat ini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar, sehingga sangat mungkin siswa lebih tahu dari guru)
Ringkasnya, Kalaulah media dianggap sebagai bekal yang betul-betul akan dibutuhkan guru dalam pelaksanaan Kegiatan/proses belajar mengajar (KBM/PBM) maka seberat dan sesulit apa pun kondisinya harus tetap diupayakan, baik oleh guru itu sendiri maupun bersama pihak-pihak pemangku kepentingan. Sehingga tugas-tugas yang awalnya terasa sebagai beban itu bermutasi ke arah persiapan (perbekalan) yang justru dimaksudkan untuk mengurangi beban dalam pelaksanaan tugas yang sesungguhnya.
Melihat lebih jauh ke depan, sepertinya pada masa mendatang media pembelajaran bukan lagi sekedar bekal yang akan mengiringi pelaksanaan tugas seorang guru, melainkan sudah menjadi kendaraan yang berakselerasi antar individu. Para pejalan kaki akan semakin jauh tertinggal seiring para perenang yang kehabisan tenaga di tengah samudera. Sementara para pengendara akan terus berupaya meningkatkan performa kendaraannya sejalan dengan pelaut yang kian berpetualang dengan bahteranya.
Komentar
Posting Komentar