![]() |
Foto :belajarpsikologi.com |
Meski belum merinci mekanismenya, mendikbud Anies Baswedan menginginkan agar pelaksanaan Ujian Nasional atau pun Evaluasi Nasional Pendidikan itu lebih berperan sebagai pemetaan, bukan sebagai penentu kelulusan.
Menyikapi keinginan tersebut (sebenarnya juga merupakan keinginan hampir semua kalangan pendidik yang sejak lama telah disuarakan namun tidak pernah ditanggapi), Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sudah rampung membuat standar operasional prosedur (SOP) Ujian Nasional (Unas) 2015. Di antara isinya adalah kelulusan siswa ditetapkan berdasarkan hasil ujian sekolah. Itu berarti bahwa kemerdekaan "guru" kembali digagas sebagai penentu yang sejatinya memang lebih kenal siswanya dibanding mereka yang jauh di atas awan (elite birokrat)
Setiap orang yang melek dan tidak dibutakan oleh "ambisi-ambisi nyeleneh" tahu betapa Ujian Nasional selama ini lebih banyak mudharatnya dibanding manfaat. Mulai dari pemborosan anggaran negara, kecurangan sekolah dan pemerintah daerah, pengekangan kemerdekaan guru, sampai pada sikap dan kompetensi peserta didik yang hanya berkutat soal itu-itu saja, jelas menimbulkan kerugian yang tidak main-main.
Selama ini hampir semua sekolah melakukan berbagai upaya terobosan, hingga dinamika belajar mengajar di dalam kelas pun berubah. Karena tagihan di masa akhir belajar berupa ujian nasional sangat menentukan, maka seluruh energi pun dicurahkan dalam upaya mengasah kemampuan menjawab soal-soal ujian nasional yang umumnya bersifat pilihan ganda. Tradisi drilling dengan melahap puluhan bahkan ratusan soal seusai jam sekolah dan berbagai tips atau jalan pintas menjawab soal pun muncul, sesubur tumbuhnya bimbingan belajar yang menawarkan jurus untuk lulus ujian nasional.
Bahkan di sekolah-sekolah yang melakukan "kecurangan berjam'ah" dan transparan, efek langsungnya adalah siswa sama sekali tidak lagi menghargai apapun dari guru, karena mereka tahu bahwa nasibnya lebih ditentukan oleh "tim sukses UN Sekolah" dan Lembaga Bimbingan Belajar. kalaupun ada, penghargaan siswa lebih terbatas pada guru-guru pengampu mata pelajaran UN semata.
Bakat, minat, potensi individu pun rawan terbenam oleh tujuan lulus ujian. Sejak duduk di kelas III SMP atau SMA, bahkan sejak masuk tahun ke-2, murid sudah mempersiapkan diri untuk ujian nasional. Dan yang paling dikorbankan dalam proses belajar mengajar model drilling ialah kemampuan analisis dan literasi. Padahal, kemampuan membaca dan menulis serta bahasa merupakan modal dasar individu belajar beragam ilmu lain.
Oleh karena itu, apapun nanti namanya, UN-UNAS, EN, ENAS dll, ada satu harapan besar yang tetap diusung oleh para pendidik, yakni kembalinya supremasi pendidikan ke tangan-tangan terampil para pejuang tanpa tanda jasa. Semoga
Komentar
Posting Komentar