Langsung ke konten utama

Kurikulum VS Guru Professional

Efektivitas sebuah kurikulum tergantung kepada profesionalisme guru. Di tangan guru yang profesional, kurikulum yang tidak baik bisa menjadi baik. Dengan mentalitas, kreativitas, serta daya inovasinya, kurikulum yang kurang baik bisa menjadi efektif. Sebaliknya, sebaik apapun kurikulum tetapi guru tidak profesional, kurikulum tidak akan berarti apa-apa. Di tangan guru yang tidak profesional,
Euforia untuk merevitalisasi sistem pendidikan kita masih menyisakan suasana yang kontraproduktif yang menarik kita simak. mulai dari kesejarhtraan guru, hingga gonta-ganti kurikulum. Betapa tidak, dunia pendidikan di negeri ini selalu dirundung berbagai ironi. Hal itu terjadi karena selama ini dunia pendidikan selalu dipandang sebelah mata dan tidak diperlakukan sebagaimana mestinya. Bahkan, yang paling ironis lagi adalah dunia pendidikan sudah menjadi budaya permainan para elite politik. Berbagai intervensi dan hegemoni politik terhadap dunia pendidikan menjadi komoditas politik yang keuntungannya tidak kembali kepada dunia pendidikan namun ke kantong kepentingan para elite politik itu sendiri.

Terlepas dari hal itu, indikasi keberhasilan sebuah pendidikan nasional adalah sejatinya terlihat pada dua variabel yakni frame kurikulum yang baik dan keberhasilan seorang guru mengajar (profesionalisme guru). Oleh karna itu, Guru dan kurikulum adalah komponen penting dalam sebuah sistem pendidikan. Keberhasilan atau kegagalan dari suatu sistem pendidikan sangat dipengaruhi oleh dua faktor tersebut.

image : daerah.sindonews.com
Kurikulum harus dapat mengikuti dinamika yang ada dalam masyarakat. Kurikulum harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat luas dalam menghadapi persoalan kehidupan kekinian yang dihadapi. Namun adanya fenomena Undur maju kurikulum pada saat ini akan berdampak pada dunia pendidikan secara sistematis, ini juga merupakan salah satu proses pendidikan yang belum matang.

Dengan adanya gonjang-ganjing perubahan kurikulum dari kurikulum 1947 hingga kurikulum 2013, dan adapula yang sebagian kembali ke kurikulim 2006, merupakan indikator konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Dari indikator tersebut yang banyak mempengaruhi adalah konsekuensi sistem politik. Idealnya beda mentri akan beda pijakan kurikulum untuk direalisasikan. Sehingga dimata pendidikan global pendidikan Indonesia berdasarkan data The Learning Curve Pearson 2014, Selasa (13/5/2014), sebuah lembaga pemeringkatan pendidikan dunia, memaparkan jika Indonesia menduduki posisi bontot alias akhir dalam mutu pendidikan di seluruh dunia.

Fenomena diatas, mengajarkan bagaimana pemerintah harus selalu aktif meninjau kelembagaan dan organisasi intern dan isi kurikulum yang digunakan agar mendukung pertumbuhan masyarakat ilmiah yang menjunjung kemartabatan manusia. Idealnya Kurikulum tidak hanya dirancang untuk menghasilkan lulusan yang seragam dan massal, namun yang mampu menunjang kreativitas, sikap akademis, kepribadian dan kemandirian. Dalam perspektif yang lebih luas, tidak terjebak dalam pengkotakan ilmu, teknologi, seni yang terspesialisasi pada bidang-bidang tertentu secara kaku. Inilah yang terjadi dengan adanya perubahan kurikulum selama ini untuk membangun frame kurikulum yang baik. Tantangan ini hadir di tengah kekhawatiran akan realitas pendidikan kita saat ini, yang dinilai belum mampu melahirkan sumber daya manusia (SDM) berdaya-saing tinggi, di tengah persaingan global dan era pasar bebas

Untuk Semua perubahan kurikulum sangat menuntut kesiapan guru dalam menghadapi kurikulum tersebut. Jika tidak didukung oleh kesiapan guru, semuanya akan sia-sia sebagai seorang guru, alangkah bijaknya bila disikapinya dengan cara menyiapkan mental terhadap perubahan yang terjadi saat ini. Baik tidaknya sebuah kurikulum sebenarnya terletak di tangan guru. Pentingnya guru dapat dianalogikan degan Hakim dan Undang-Undang, maka kepentingan guru dipandang lebih penting dibanding dgn kurikulumnya. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa: “Berilah aku Hakim dan Jaksa yang baik, yang dengan Uundang-undang yg kurang baik sekalipun, aku akan dapat menghasilkan keputusan yg baik”. Ini dapat dianalogikan degan guru: “Berilah aku guru yangg baik, degan kurikulum yang kurang baik sekalipun, aku akan dapat menghasilkan peserta didik yang baik”. Hal tersebut berarti bahwa aspek Guru masih lebih penting dibandingkan kurikulumnya, karena guru menjadi orang yangg amat bertanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan kurikulumnya.

Efektivitas sebuah kurikulum tergantung kepada profesionalisme guru. Di tangan guru yang profesional, kurikulum yang tidak baik bisa menjadi baik. Dengan mentalitas, kreativitas, serta daya inovasinya, kurikulum yang kurang baik bisa menjadi efektif. Sebaliknya, sebaik apapun kurikulum tetapi guru tidak profesional, kurikulum tidak akan berarti apa-apa. Di tangan guru yang tidak profesional, kurikulum yang sebaik apa pun tidak akan terlaksana dengan efektif. Sehingga Guru adalah “Man behind the Curriculum”, manusia yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kurikulum.

Guru profesional, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.

Sudah saatnya pemerintah untuk memprioritaskan membangun karakter guru profesional di bandingkan dengan merubah atau memperbaiki kurikulum, karna pendidikan berintikan interaksi antara pendidik (guru) dan peserta didik (sisiwa) untuk mencapai tujuan pendidikan. Interaksi guru seyogyanya telah terinclud dalam proses kurikulum, yakni Guru sebagai orang yang berkewajiban merencanakan pembelajaran (instruction palnning) selalu mengacu kepada komponen-komponen kurikulum yang berlaku.

Sumber : edukasi.kompasiana.com subbmitted by : Maman Pranata
http://wasdikmad.blogspot.com/2014/12/kurikulum-vs-guru-professional.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kekeraasan Verbal dan Krisis Kesantunan

Di salah satu blog saya yang lain, saya pernah memposting sebuah artikel tentang Kekuatan Kata-Kata, bagaimana ia mampu merubah rasa empaty, membangkitkan semangat, menopang kekuatan diri, juga sebaliknya mampu menjadi mesin penghancur mimpi. Image : intisari-online.com Terkait dengan efek negatif Kekuatan Kata-Kata tersebut, kali ini sebuah artikel karya Rahmi Yulia, seorang Duta Bahasa Nasional sengaja saya pilihkan buat para reader untuk melihat betapa Kesantunan yang dulunya melekat sebagai jati diri bangsa Indonesia, kini tengah dilanda krisis yang hebat, ditandai dengan maraknya kekerasan verbal di area publik. OK, langsung aja di cekidot, check it out maksudnya :) I. PENDAHULUAN Sejak sekolah dasar, guru di Indonesia pada umumnya telah memberitahu bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Slogan ini membutuhkan deksripsi dan narasi yang argumentatif. Bahasa pada ungkapan bahasa menunjukkan bangsa mengacu pada dua hal: pertama bahasa itu sendiri dengan seg...

Sekali Membentak Ribuan Sel Otak Anak Rusak

"Tahukan Anda di dalam setiap kepala seorang anak terdapat lebih dari 10 trilyun sel otak yang siap tumbuh. Satu bentakan atau makian mampu membunuh lebih dari 1 milyar sel otak saat itu juga. Satu cubitan atau pukulan mampu membunuh lebih dari 10 milyar sel otak saat itu juga. Sebaliknya 1 pujian atau pelukan akan membangun kecerdasan lebih dari 10 trilyun sel otak saat itu juga.” Dari beberapa artikel dan penelitian disebutkan bahwa, satu bentakan merusak milyaran sel-sel otak anak kita. Hasil penelitian Lise Gliot, berkesimpulan pada anak yang masih dalam pertumbuhan otaknya yakni pada masa golden age (2-3 tahun pertama kehidupan, red), suara keras dan membentak yang keluar dari orang tua dapat menggugurkan sel otak yang sedang tumbuh. Sedangkan pada saat ibu sedang memberikan belaian lembut sambil menyusui, rangkaian otak terbentuk indah. Penelitian Lise Gliot ini sendiri dilakukan sendiri pada anaknya dengan memasang kabel perekam otak yang dihubungkan dengan sebuah monit...

Penegasan mendikbud Soal UN 2015 (Tunggu Permen)

walaupun belum dinyatakan secara utuh dalam sebuah Peraturan Menteri , hasil kelulusan Ujian Nasional tahun 2015 dipastikan 100% ditentukan oleh masing-masing sekolah. Diharapkan sekolah berlaku jujur untuk kepentingan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Image : visiuniversal.blogspot.com "Pelaksanaannya (UN) tetap. Hasilnya saja yang ditentukan oleh pihak sekolah masing-masing," kata Anies pada acara Seminar Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 di Medan seperti dilansir dari Antara, Sabtu (10/1). Anies mengatakan, meski hasil kelulusan UN sudah dinyatakan ditentukan 100 persen oleh sekolah, detail lainnya seperti soal UN masih dibahas. "Sekarang ini yang sudah saya nyatakan adalah soal keputusan bahwa hasil kelulusan UN 100 persen akan ditentukan masing-masing pihak sekolah. Sedangkan detail lainnya, 10 hari lagi akan saya umumkan karena masih dalam tahap pembahasan," katanya. Menurut dia, soal kejujuran hasil UN perlu mendapat perhatian besar...