[MALANG] Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM), Suko Wijono menyayangkan keputusan Mendikbud yang mencabut penerapan Kurikulum 2013 (K-13). Kebijakan itu dinilai merupakan bentuk diskriminasi pendidikan, karena pencabutan K-13 hanya berlaku bagi sekolah yang selama ini belum atau tidak mampu menerapkan program K-13 karena berbagai kendala. Sementara bagi sekolah yang memiliki kemampuan, dipersilahkan untuk tetap melanjutkan K-13.
“Langkah pemerintah ini sama dengan bentuk pembedaan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lembaga pendidikan yang mampu dan kurang mampu,” ujar Suko Wiyono, yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang menjawab pertanyaan wartawam, Selasa (16/12).
Menurut Suko Wiyono yang juga Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jatim itu menambahkan, bahwa perbedaan penerapan kurikulum akan membuat kualitas pendidikan di Indonesia tidak merata. Sebab ada sekolah yang tetap menerapkan K-13, namun sekolah yang tidak mampu harus kembali pada kurikulum 2006. “Ini merupakan bentuk liberalisasi di bidang pendidikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum. Bukannya malah mencabut kurikulum yang sudah diterapkan dan memberlakukan pilihan, boleh memakai K-13 atau kembali ke KTSP 2006. “Pergantian kurikulum akan mengorbankan siswa. Karena mereka harus kembali beradaptasi dengan kurikulum 2006,” tandasnya. (Bentuk diskriminasi ini tentunya akan lebih terasa bila memang hanya sekolah rintisan saja yang mendapatkan pelatihan, lihat : Sekolah Rintisan K13 Akan dilatih)
Di Kota Malang
Keputusan Dinas Pendidikan Kota Malang untuk tetap menerapkan K-13 mendapatkan dukungan dari seluruh sekolah-sekolah yang ada, baik negeri maupun swasta. Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Malang, Suwarjana mengatakan, keputusan itu diambil setelah Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Malang Zubaidah melakukan rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemprov Jatim.
Dalam rapat koordinasi tersebut, ada tiga opsi yang harus dipilih, yakni bagi sekolah yang baru satu semester dan atau tidak mampu menerapkan K-13 diperbolehkan untuk berhenti. Sedangkan bagi sekolah yang sudah tiga semester menerapkan K-13 bisa melanjutkan dan atau bagi yang tidak mampu bisa berhenti.
“Seluruh sekolah di Kota Malang memilih untuk melanjutkan K-13. Apalagi seluruh sekolah di Kota Malang sudah menerapkan K-13 sejak awal tahun ajaran 2013 atau tiga semester,” ujar Suwarjana, Rabu (17/12). Menurut dia, kesepakatan untuk menlajutkan K-13 merupakan desakan dari para kepala sekolah sendiri. Disdik tidak memaksa sekolah menerapkan K-13, tetapi ini semua merupakan kesadaran dari tiap sekolah.
“ Para kepala sekolah sendiri yang memintaa agar Kota Malang tetap menggunakan K-13,” ujarnya. Saat ini, di Kota Malang memiliki 196 SDN, 27 di tingkat SMPN serta 10 SMAN dan 35 SMA swasta. Kesanggupan menerapkan K-13 dilakukan oleh sekolah swasta dan negeri. Jika nantinya ada sekolah yang tidak mampu, akan kita evaluasi dan dicarikan solusinya, di antaranya dengan pendampingan,” ujar mantan Kabid Pendidikan Dasar dan Menengah Dindik Kota Malang itu.
Terkait sarana penerapan K-13, Dinas Pendidikan menjamin setiap siswa baik di sekolah swasta maupun negeri telah mendapatkan buku ajar. Guru juga sudah mendapatkan pelatihan (pembinaan), pemberian buku juga tidak ada yang terlambat. Disdik Kota Malang juga telah mengalokasikan anggaran pendamping dalam APBD untuk penerapan K-13. Untuk pembelian buku K-13, tingkat SD dan SMP sudah dicover dana alokasi khusus (DAK), sedangkan untuk tingkat SMA dan SMK sudah dianggarkan dalam perubahan anggaran keuangan (PAK) APBD 2014 sebesar Rp 4 miliar, tandas Suwarjana.
Di Mojokerto
Di Kota Mojokerto yang baru satu semester menerapkan K-13 menyatakan keberatan untuk kembali melaksanakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Salah satu sekolah yang menolak tersebut adalah SMPN 5 dan SMAN 3 Kota Mojokerto.
Kepala SMPN 5 Kota Mojokerto, Hermin Titisnowati mengatakan, jika kembali ke KTSP 2006 maka akan banyak guru yang kekurangan jam mengajar. Dengan KTSP, di SMPN 5 tiap pekan hanya ada 32 jam pelajaran. Namun dengan K-13, tiap pekan ada 40 jam pelajaran, ujar dia, semalam. Masih kata Hermin, KTSP pukul 11.45 WIB sudah pulang tapi kalau K-13 samai pukul 13.00 WIB baru pulang.
K-13 menurutnya menjadikan guru lebih kreatif dan inovatif sehingga anak juga makin kreatif dan inovatif. “Memang program K-13 berpusat pada siswa, sedangkan KTSP berpusat pada guru, sehingga sebenarnya K-13 ini sangat bagus buat siswa,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kepala SMAN 3 Kota Mojokerto, M Umar. Menurut dia, kalau kembali ke KTSP-2006, akan memuat siswa bingung. Pada K-13 jumlah pelajarannya memang lebih sedikit tapi prosesnya lebih lama sehingga jam pelajarannya lebih banyak. “Jika di SD hanya ada empat buku tematik namun bisa untuk sejumlah mata pelajaran. Sedang untuk SMA ada 13 buku,” tambahnya.
Di Tuban
Berbeda dengan Disdik Kabupaten Tuban masih melakukan rapat koordinasi dengan jajahannya terkait pembatalan penerapan K-13 oleh Mendikbud. Setelah menerima surat edaran dari kementerian, Kepala Disdikpora Tuban mengaku baru rapat koordinasi secara terbatas dengan sejumlah Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Seksi (Kasi) di lingkup Disdikpora Tuban.
Kepala Disdikpora Kabupaten Tuban, Sutrisno menjelaskan tidak semua sekolah akan langsung kembali ke KTSP 2006. Sesuai petunjuk edaran yang diterima, masih ada sekolahan yang dapat melanjutkan K-13 dan atau kembali ke kurikulum lama, ujar Sutrisno. Dengan adanya perubahan kurikulum 13 tersebut, dia berharap kepada seluruh siswa, wali murid maupun guru untuk tidak panik. Pasalnya pembatalan K13 tersebut tentunya memiliki tujuan yang lebih baik.
“Kami mengimbau kepada guru supaya tetap mendidik dengan baik, para siswa tetap fokus dan belajar dengan sungguh-sungguh. Selain itu para orang tua siswa supaya jangan khawatir dengan perubahan ini,” tandas Sutrisno. [ARS/N-6]
Sumber Artikel dan Foto : sp.beritasatu.com
“Langkah pemerintah ini sama dengan bentuk pembedaan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lembaga pendidikan yang mampu dan kurang mampu,” ujar Suko Wiyono, yang juga Rektor Universitas Wisnuwardhana (Unidha) Kota Malang menjawab pertanyaan wartawam, Selasa (16/12).
Menurut Suko Wiyono yang juga Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Jatim itu menambahkan, bahwa perbedaan penerapan kurikulum akan membuat kualitas pendidikan di Indonesia tidak merata. Sebab ada sekolah yang tetap menerapkan K-13, namun sekolah yang tidak mampu harus kembali pada kurikulum 2006. “Ini merupakan bentuk liberalisasi di bidang pendidikan,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi pelaksanaan kurikulum. Bukannya malah mencabut kurikulum yang sudah diterapkan dan memberlakukan pilihan, boleh memakai K-13 atau kembali ke KTSP 2006. “Pergantian kurikulum akan mengorbankan siswa. Karena mereka harus kembali beradaptasi dengan kurikulum 2006,” tandasnya. (Bentuk diskriminasi ini tentunya akan lebih terasa bila memang hanya sekolah rintisan saja yang mendapatkan pelatihan, lihat : Sekolah Rintisan K13 Akan dilatih)
Di Kota Malang
Keputusan Dinas Pendidikan Kota Malang untuk tetap menerapkan K-13 mendapatkan dukungan dari seluruh sekolah-sekolah yang ada, baik negeri maupun swasta. Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Malang, Suwarjana mengatakan, keputusan itu diambil setelah Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Malang Zubaidah melakukan rapat koordinasi dengan Dinas Pendidikan Pemprov Jatim.
Dalam rapat koordinasi tersebut, ada tiga opsi yang harus dipilih, yakni bagi sekolah yang baru satu semester dan atau tidak mampu menerapkan K-13 diperbolehkan untuk berhenti. Sedangkan bagi sekolah yang sudah tiga semester menerapkan K-13 bisa melanjutkan dan atau bagi yang tidak mampu bisa berhenti.
“Seluruh sekolah di Kota Malang memilih untuk melanjutkan K-13. Apalagi seluruh sekolah di Kota Malang sudah menerapkan K-13 sejak awal tahun ajaran 2013 atau tiga semester,” ujar Suwarjana, Rabu (17/12). Menurut dia, kesepakatan untuk menlajutkan K-13 merupakan desakan dari para kepala sekolah sendiri. Disdik tidak memaksa sekolah menerapkan K-13, tetapi ini semua merupakan kesadaran dari tiap sekolah.
“ Para kepala sekolah sendiri yang memintaa agar Kota Malang tetap menggunakan K-13,” ujarnya. Saat ini, di Kota Malang memiliki 196 SDN, 27 di tingkat SMPN serta 10 SMAN dan 35 SMA swasta. Kesanggupan menerapkan K-13 dilakukan oleh sekolah swasta dan negeri. Jika nantinya ada sekolah yang tidak mampu, akan kita evaluasi dan dicarikan solusinya, di antaranya dengan pendampingan,” ujar mantan Kabid Pendidikan Dasar dan Menengah Dindik Kota Malang itu.
Terkait sarana penerapan K-13, Dinas Pendidikan menjamin setiap siswa baik di sekolah swasta maupun negeri telah mendapatkan buku ajar. Guru juga sudah mendapatkan pelatihan (pembinaan), pemberian buku juga tidak ada yang terlambat. Disdik Kota Malang juga telah mengalokasikan anggaran pendamping dalam APBD untuk penerapan K-13. Untuk pembelian buku K-13, tingkat SD dan SMP sudah dicover dana alokasi khusus (DAK), sedangkan untuk tingkat SMA dan SMK sudah dianggarkan dalam perubahan anggaran keuangan (PAK) APBD 2014 sebesar Rp 4 miliar, tandas Suwarjana.
Di Mojokerto
Di Kota Mojokerto yang baru satu semester menerapkan K-13 menyatakan keberatan untuk kembali melaksanakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006. Salah satu sekolah yang menolak tersebut adalah SMPN 5 dan SMAN 3 Kota Mojokerto.
Kepala SMPN 5 Kota Mojokerto, Hermin Titisnowati mengatakan, jika kembali ke KTSP 2006 maka akan banyak guru yang kekurangan jam mengajar. Dengan KTSP, di SMPN 5 tiap pekan hanya ada 32 jam pelajaran. Namun dengan K-13, tiap pekan ada 40 jam pelajaran, ujar dia, semalam. Masih kata Hermin, KTSP pukul 11.45 WIB sudah pulang tapi kalau K-13 samai pukul 13.00 WIB baru pulang.
K-13 menurutnya menjadikan guru lebih kreatif dan inovatif sehingga anak juga makin kreatif dan inovatif. “Memang program K-13 berpusat pada siswa, sedangkan KTSP berpusat pada guru, sehingga sebenarnya K-13 ini sangat bagus buat siswa,” ujarnya.
Hal yang sama disampaikan Kepala SMAN 3 Kota Mojokerto, M Umar. Menurut dia, kalau kembali ke KTSP-2006, akan memuat siswa bingung. Pada K-13 jumlah pelajarannya memang lebih sedikit tapi prosesnya lebih lama sehingga jam pelajarannya lebih banyak. “Jika di SD hanya ada empat buku tematik namun bisa untuk sejumlah mata pelajaran. Sedang untuk SMA ada 13 buku,” tambahnya.
Di Tuban
Berbeda dengan Disdik Kabupaten Tuban masih melakukan rapat koordinasi dengan jajahannya terkait pembatalan penerapan K-13 oleh Mendikbud. Setelah menerima surat edaran dari kementerian, Kepala Disdikpora Tuban mengaku baru rapat koordinasi secara terbatas dengan sejumlah Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Seksi (Kasi) di lingkup Disdikpora Tuban.
Kepala Disdikpora Kabupaten Tuban, Sutrisno menjelaskan tidak semua sekolah akan langsung kembali ke KTSP 2006. Sesuai petunjuk edaran yang diterima, masih ada sekolahan yang dapat melanjutkan K-13 dan atau kembali ke kurikulum lama, ujar Sutrisno. Dengan adanya perubahan kurikulum 13 tersebut, dia berharap kepada seluruh siswa, wali murid maupun guru untuk tidak panik. Pasalnya pembatalan K13 tersebut tentunya memiliki tujuan yang lebih baik.
“Kami mengimbau kepada guru supaya tetap mendidik dengan baik, para siswa tetap fokus dan belajar dengan sungguh-sungguh. Selain itu para orang tua siswa supaya jangan khawatir dengan perubahan ini,” tandas Sutrisno. [ARS/N-6]
Sumber Artikel dan Foto : sp.beritasatu.com
Komentar
Posting Komentar