Maraknya berita tentang penghentian pelaksanaan kurikulum 2013, sebagaimana diposting dalam akun fb kemendikbud ( bisa dilihat di sini ) mendapat tanggapan beragam dari banyak pihak. Mayoritasnya menyatakan setuju. Berikut salah satu tanggapan yang diposting sebagai koment dalam situs yang sama :
Yohan Setiawan :
P. Anies , terima kasih sebelumnya u keputusan penundaan kurtilas. Tetapi yang perlu dilakukan sebenarnya bukan menunda tapi membatalkan kurtilas dan kembali ke ktsp. Kalau ktsp dianggap belum cukup baik, maka yang seharusnya dilakukan adalah perbaikan dan bukannya merubah kurikulum yang sedang berjalan dengan sesuatu yang tidak feasible untuk diimplementasikan. sebagai contoh:
Sembilan point di atas hanyalah sebagian dari kekurangan kurtilas. Bila sesuatu memang sudah tidak masuk akal untuk diimplementasikan, kenapa kita tidak membatalkannya? Karena kerugian dari pembatalan kurtilas akan jauh lebih kecil dampaknya dibandingkan jika pemerintah menghasilkan generasi yang gagal di masa yang akan datang. Ada tanggung jawab moral yang jauh lebih tinggi dari sekedar menyelamatkan anggaran yang sudah dihabiskan untuk memaksakan kurtilas berjalan.
Terima Kasih
Ini pendapat yang setuju lho? ada juga kok yang tidak setuju. Malah salah seorang guru besar di Universitas Negeri Malang mengatakan bahwa pemberlakuan K13 hanya pada sekolah tertentu adalah bentuk diskriminasi, lihat di sini.
Yohan Setiawan :
P. Anies , terima kasih sebelumnya u keputusan penundaan kurtilas. Tetapi yang perlu dilakukan sebenarnya bukan menunda tapi membatalkan kurtilas dan kembali ke ktsp. Kalau ktsp dianggap belum cukup baik, maka yang seharusnya dilakukan adalah perbaikan dan bukannya merubah kurikulum yang sedang berjalan dengan sesuatu yang tidak feasible untuk diimplementasikan. sebagai contoh:
- k13 mengarahkan anak yang mencari tahu dan menjelaskan pengetahuan dan guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Pada saat belajar tetap dibutuhkan sosok guru yang menjelaskan materi. Dengan k13 ibaratnya seorang buta menuntun orang buta lainnya sementara yang bisa melihat hanya mengarahkan.
- Sistem pengajaran yang berbasis scientific tidak selalu bisa diterapkan untuk semua mata pelajaran. Untuk materi-materi tertentu, murid perlu belajar dengan cara repetisi dan cara-cara lainnya.
- Project based learning yang di k13 yang wajib dilaksanakan dengan tingkat kekerapan yang cukup tinggi. Pada prakteknya, project based learning membutuhkan waktu dan tenaga. Bisa dibayangkan betapa lelahnya peserta didik karena semua mata pelajaran memberikan tugas berbentuk ini.
- Hilangnya mata pelajaran TIK. Bukan hanya berdampak kepada lulusan UPI tetapi juga kepada peserta didik karena belajar TIK bukan hanya belajar copy paste.
- Pemberian nilai diri yang sangat memberatkan guru. Ada beberapa poin yang wajib dinilai setiap guru mata pelajaran (semisal tingkat kejujuran anak, religius, suka membantu sesama, dll). Tidak adakah cara yang lebih sederhana dalam mendidik anak menjadi seorang yang religius? Apakah dengan cara semua guru menilai tingkat religus pesera didik akan membuat anak itu menjadi seorang yang religius? Yang selama ini guru tanamkan adalah prinsip berlaku dalam masyarakat (misal B. Inggris belajar mengenai topik kejahatan; maka guru akan menerangkan sisi buruk dari tindakan seperti ini dan apa nilai yang baik yang patut diterapkan dalam hidup. Guru bukanlah polisi dan hakim peserta didik yang menangkap dan menghukum mereka bila guru menilai anak kurang di satu bidang. Apakah wajar peserta didik gagal melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggu bila ada satu guru yang memberikan nilai C untuk sikap tertentu maka peserta didik?
- Sistem penilaian diri ini pun tidak bisa diimplementasikan. Sesuatu yang indah secara teori belum tentu bisa dipraktekkan. Bila seorang guru mengajar di 5 kelas dan ada 5 nilai sikap yang perlu diambil, dengan jumlah 30 peserta didik per-kelas. Berarti minimal ada 5 x 5 x 30 x 5 (penilaian dari guru, mandiri dan sesama; diambil 3 rekan peserta didik karena bila hanya mengambil 1 rekan penilaiannya bisa subjektif). total ada 3750 angka yang harus diproses oleh guru mata pelajaran di luar ulangan harian yang berhubungan dengan mata pelajaran. Kalau di perkotaan mungkin bisa dibantu dengan menggunakan komputer walaupun sangat repot. Bisa dibayangkan kesulitan yang dialami guru-guru di daerah yang harus melakukannya secara manual.
- Penggabungan beberapa mata pelajaran (misal IPA terpadu) yang tidak mencerdaskan peserta didik. Guru dengan kompetensi di bidang Biologi diminta menerangkan materi Fisika atau sebaliknya. Hal ini jelas akan merugikan anak karena pemahaman guru yang tidak sedalam guru yang memang mendalami bidang tersebut dan pada akhirnya menghasilkan generasi muda di masa yang akan datang dengan ilmu yang seadanya.
- Materi yang tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pelajaran B. Inggris hanya memperkenalkan vocabulary dan cara berucap di kelas 7 (2 semester), sementara di kelas 8 mereka diharapkan mampu menguasai 4 materi tense plus degrees of comparison dalam 1 semester. Belajar bukan seperti menelan tablet. Ada titik di mana anak tidak mampu menerima input karena terlalu banyak (muak) atau terlalu sedikit (bosan).
- Pada saat pelatihan guru-guru tidak diperlihatkan cara praktis implementasi pengambilan nilai diri. Secara teori mudah tapi prakteknya hal ini perlu ada contoh. Guru walaupun berusaha sebaik mungkin belum tentu bisa mengenali semua murid karena keterbatasan waktu tatap muka atau jumlah peserta didik yang terlalu banyak. Selain itu yang perlu diingat adalah kewajiban utama guru adalah mendidik bukan menilai. Penilaian adalah salah satu point yang dibutuhkan agar dapat mengevaluasi apakah materi yang disampaikan dimengerti. Tujuan penilaian bukan pula untuk menilai apakah peserta didik memiliki sikap yang baik saja. Guru perlu menilai untuk memperbaiki kinerja dan juga mencari tahu apa yang masih perlu disampaikan kepada murid (bagian yang belum dimengerti)
Sembilan point di atas hanyalah sebagian dari kekurangan kurtilas. Bila sesuatu memang sudah tidak masuk akal untuk diimplementasikan, kenapa kita tidak membatalkannya? Karena kerugian dari pembatalan kurtilas akan jauh lebih kecil dampaknya dibandingkan jika pemerintah menghasilkan generasi yang gagal di masa yang akan datang. Ada tanggung jawab moral yang jauh lebih tinggi dari sekedar menyelamatkan anggaran yang sudah dihabiskan untuk memaksakan kurtilas berjalan.
Terima Kasih
***
Ini pendapat yang setuju lho? ada juga kok yang tidak setuju. Malah salah seorang guru besar di Universitas Negeri Malang mengatakan bahwa pemberlakuan K13 hanya pada sekolah tertentu adalah bentuk diskriminasi, lihat di sini.
Komentar
Posting Komentar